Dalam rangka memfasilitasi kemudahan impor, kini pengurusan clearance barang impor semakin cepat. Tidak perlu menunggu kapal sandar di pelabuhan, bahkan meski kapal masih di lautan luas, proses clearance barang impor sudah bisa dilakukan. Harapannya, begitu kapal sandar dan dibongkar, barang impor langsung bisa dikeluarkan dari wilayah pelabuhan, tanpa menginap sama sekali di areal gudang pelabuhan.

Reformasi pabean dari sisi impor ini tentu berita gembira bagi importir. Selama ini, biaya gudang selangit karena dibanderol dalam satuan kubik per hari atau ton per hari. Bahkan di bandar udara dalam satuan kilogram per hari. Namun kini, ada peluang tidak terjadi lagi bagi setiap importir Indonesia. Arus impor semakin lancar. Barang cepat sampai ke titik-titik konsumsi dan keuntungan bagi importir.

Kebijakan Manifest Generasi III ini sebetulnya presentasi dokumen bea cukai (BC) 2.0 yang merupakan turunan Perdirjen BC Nomor PER-44/BC/2011 yakni Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Setelah PIB di-submit ke sistem, jika tidak ada kendala atau kekurangan dokumen, maka barang impor langsung mendapat status Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Ini lampu hijau barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean.

Reformasi kepabeanan dalam rangka kelancaran arus impor tentu antitesis dari spirit pengendalian defisit transaksi berjalan (CAD). Ketika impor menjadi sangat mudah, maka halangan perdagangan internasional tidak ada lagi. Dampaknya, produk-produk impor akan memenuhi rak-rak pertokoan Indonesia.

Dari satu sisi memang ada peningkatan terkait status peringkat logistic performance indicator (LPI). Skor LPI 2018 memang sudah naik ke urutan 46 dengan skor 3,15 dibanding dua tahun lalu di posisi 63. Terjadi kenaikan peringkat sampai 17 tingkat. Betapa pun Indonesia masih membutuhkan kepastian soal regulasi di daerah kepabeanan, jika dalam waktu dekat diimplementasi manifest generasi (MG) III, sudah menjadi jawaban dari rekomendasi untuk perbaikan LPI 2020.

Berikutnya, mahalnya biaya logistik yang saat ini terjadi di Indonesia. Biaya per kontainer, dokumen, administrasi untuk pabean dan kontrol teknis. Kemudian, biaya agensi kepabeanan, penanganan terminal dan transportasi darat masih dibanderol 571 dollar AS per kontainer. Padahal Malaysia bertarif 525 dollar AS per kontainer. Bahkan Singapura 475 dollar AS per kontainer.

Biaya dokumen ekspor dan impor 130 dollar AS di Jakarta dan 170 dollar AS di Surabaya. Ini diperoleh dari studi Doing Business Bank Dunia 2018. Pada saat yang sama, bea per dokumen ekspor atau impor di Singapura 37 dollar AS. Sementara itu, di Malaysia 45 dollar AS. Di samping itu, diperlukan 60 jam penyelesaian dokumen (inklaring) yang merupakan pre-clearance. Adapun Singapura tercatat hanya dua jam, Malaysia 10 jam, dan Thailand 11 jam.

Menyederhanakan sisdur kepabeanan utamanya untuk kelancaran arus impor memang bagai dua sisi pisau. Dipercepat menjadikan prosesnya sangat singkat. Artinya, akan mendorong para importir melakukan impor kembali. Padahal, saat ini Indonesia mendapat pukulan keras karena belum berimbangnya neraca ekspor dan impor. Defisit CAD semakin sulit direm dan potensial kian meningkat.

Sebelum reformasi pabean, defisit neraca dagang sampai November 2018 tercatat 2,05 miliar dollar AS. Pernah terjadi surplus pada September 2018. Namun, kembali defisit pada Oktober 2018 sebesar 1,82 miliar dollar AS. Tingginya defisit neraca dagang pada kuartal III tahun lalu disumbang defisit jasa 2,22 miliar dollar AS.

Padahal kuartal II masih defisit 1,86 miliar dollar AS. Sebabnya kenaikan defisit jasa transportasi seperti jasa freight laut karena meningkatnya impor barang. Alhasil, nilai CAD pada kuartal III 2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS adalah 3,37 persen PDB. Ini meningkat dibanding kuartal II sebesar 3,02 persen PDB.

Selektif

Implementasi dokumen bea cukai (BC) 2.0 yang merupakan presentasi PIB lebih dini dalam kondisi CAD yang besar seharusnya selektif dilakukan. Pemerintah, betapa pun harus melindungi barang-barang produksi dalam negeri yang memang bisa diproduksi. Jika importir bertindak bias dengan membabi buta menggunakan MG-III untuk barang-barang ini, importir harus diberi peringatan.

Kebijakan MG-III dapat digunakan, namun untuk kategori barang modal seperti untuk investasi yang sedang dalam pemasangan dan ditunggu para teknisi asing. Semakin lama kedatangan barang modal karena hambatan pabean, akan menambah kerugian karena teknisi asing tersebut dibayar dalam satuan jam dengan mata uang asing. Barang-barang seperti ini memang belum mampu dibuat di dalam negeri. Untuk ini sangat relevan apabila diberikan kebijaksanaan MG-III.

Namun, ada yang perlu disayangkan dengan terbitnya Permendag Nomor 22/2018 tanggal 10 Januari 2018 itu. Dengan Permendag tersebut, untuk mengimpor besi baja tidak lagi memerlukan pertimbangan teknis Kementerian Perindustrian. Tujuannya untuk memangkas dwelling time, tapi potensial menjadi bumerang karena akan membuka ruang impor besi dan baja dengan leluasa.

Spirit menyederhanakan proses memang simultan dilakukan pemerintah lintas kementerian. Hanya, tampak belum ada keterpaduan dan masih tumpang tindih. Jika semua dilonggarkan, sementara ketahanan ekonomi dalam negeri tak diperkuat, justru akan membuat kemampuan ekonomi nasional sangat rentan.

Penulis dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/reformasi-pabean-dan-cad/

WhatsApp chat